Ad Unit (Iklan) BIG

Dua Tahafut: Dialektika Keilmuan Abad Pertengahan

Posting Komentar
Dua ulama sekaligus filsuf muslim abad pertengahan, Abu Hamid Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd kendati tidak satu zaman telah berhasil mentranmisikan pengetahuan yang terletak di ruang-ruang lembab serta terasing dari pancaran keilmuan. Al-Ghazali meninggal pada tahun 1111 M, 13 tahun kemudian Ibnu Rusyd lahir.

Dua filsuf besar ini menyandang julukan yang belum pernah ditemui baik di masa sebelumnya atau setelahnya dalam kehidupan. 

Al-Ghazali dikenal dengan Hujjatul Islam, sang pembela nilai-nilai keislaman. Hal ini disandarkan atas dukungan penuhnya dalam mempertahankan tradisi keislaman terhadap pikiran-pikiran para filsuf yang terbilang kontroversial saat itu.

Sementara itu, Ibnu Rusyd mendapat julukan The Great Commentator, sang penafsir, seorang pemberi komentar hebat terhadap -salah satunya- karya Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (Inkoherensi Para Filsuf). 

Filsuf ini juga telah melahirkan karya-karya besar dalam berbagai disiplin ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap dialektika keilmuan hingga sekarang.

Sejak satu bulan lalu, kendati dengan pembacaan yang belum sesuai dengan kaidah balaghah dan tata bahasa Arab, saya telah memulai membaca dan mengkaji Kitab Tahafut Al-Falasifah secara daring di media sosial Facebook dan YouTube

Pembacaan ini saya maksudkan untuk mengenalkan dialektika panjang di bidang metafisika antar-filsuf dan ulama muslim di abad pertengahan.

Beberapa bulan ke depan, saya mungkin akan memulai juga membaca dan mengkaji komentator Ibnu Rusyd terhadap kitab Tahafut Al-Falasifah dengan Kitab Tahafut At-Tahafut (Inkoherensi Orang Rancu).

Benang merah yang dapat diambil dari dialektika para filsuf muslim yaitu bahwa diskusi dan dialog panjang keilmuan di kalangan mereka justru telah menghasilkan dua karya besar yang telah tercatat dalam sejarah; dua kitab tahafut. 

Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tidak saling bantah melain memberikan komentar terhadap pandangan-pandangan yang inkohenren/rancu. Al-Ghazali mengulas pandangan dua filsuf muslim Al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Rusyd memberikan komentar terhadap karya Al-Ghazali.

Menjadi hal penting, kendati kehidupan para filsuf berada para rentang zaman berbeda, mereka melakukan dialektika dengan memfokuskan pada kajian atau objek bahasan. 

Al-Ghazali sebagai seorang ulama yang komprehensif dalam keilmuan tidak terjebak ke dalam sikap subyektif dalam memberikan catatan dan komentar terhadap pandangan Al-Farabi dan Ibnu Sina. 

Sebagai seorang ilmuwan, ia tetap mengedepankan obyektivitas, tidak merendahkan apalagi menghukumi dua filsuf muslim dengan sebutan sesat.

Begitu juga dengan Ibnu Rusyd, ia tetap berpegang teguh pada landasan penting keislaman, akidah yang tidak pernah memberikan ruang kebebasan bagi muslim untuk menuding sesat dan kafir kepada orang-orang yang telah mengikrarkan syahadat. 

Tahafut At-Tahafut tidak dimaksudkan untuk mempreteli pandangan Al-Ghazali melainkan untuk menempatkan pikiran-pikiran manusia secara utuh dan mendalam berdasarkan kedudukan dan kapasitas penutur.

Pandangan obyektif Al-Ghazali sudah terlihat pada alinea akhir Prawacana Awal Tahafut Al-Falasifah. Ia menulis: “Maka, kita akan membatasi diri dalam membatalkan apa pun yang telah dipilih dan pandangan para filsuf terdahulu dengan tidak mengecap mereka sebagai manusia sesat”. 

Penyangkalannya hanya sebatas agar pandangan dan gagasan -misalnya teori emanasi – tidak menyebar luas di kalangan umum (dlu’afaa al-‘uquulu).

Umat Islam saat ini memang harus mempraktikkan kembali tradisi keilmuan yang telah dicontohkan oleh para pendahulunya. 

Dapat kita bayangkan, hanya dengan dua kitab saja: Tahafut Al-Falasifah dan Tahafut At-Tahafut, kita diajak untuk menyelami samudera filsafat yang pancarannya masih relevan dan digunakan - termasuk dalam sains- hingga saat ini.

Saya ambil contoh, Ibnu Sina menuturkan Waajiibul Wujuud serupa dengan Unmoved Mover (Sang Penggerak yang tak dapat digerakkan). 

Istilah seperti ini dapat saja masih asing di masyarakat Islam sendiri. Pandangan Ibnu Sina ini ternyata telah mengakar juga dalam kehidupan para leluhur Nusantara yang memiliki pandangan Tan Kena Kinaya Ngapa (Sang Adikodrati yang tak tersentuh oleh apa pun).

Pengaruh Al-Farabi terhadap pengetahuan juga sangat besar. Cendekiawan Barat, terutama di kalangan kosmolog, astronomi, dan fisika tanpa sadar masih mengadopsi pikiran-pikiran Al-Farabi tentang emanasi, Waajibul Wujuud, dan Mumkiinul Wujuud.

Saintis seperti Stephen Hawking mencetuskan teori Big Bang, pijakan dasar teori ini bermula dari pandangan Plotinus kemudian ditransmisikan oleh Al-Farabi dalam teori emanasi dalam memandang awal mula kehadiran alam semesta. 

Babak baru penelitian di bidang fisika menyebutkan bahwa alam semesta ini hanyalah sebuah hologram, dalam terma Al-Farabi disebut sebagai Mumkiinul Wujuud, eksistensi alam semesta yang mungkin saja ada atau tidak ada sama sekali.

Gagasan penyangkalan Al-Ghazali terhadap pandangan awal kehadiran alam semesta oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi didasarkan pada ketidakmungkinan adanya dua kekekalan di alam semesta. 

Pandangan Al-Ghazali seperti ini tetap relevan jika disadingkan dengan keberadaan satu kekekalan. Saintis menisbahkan kekekalan ini pada energi yang ada di alam, sedangkan umat beragama menisbahkannya pada Sang Maha Kreator (al-khaliq).

Gagasan-gagsan besar para ulama dan filsuf muslim abad pertengahan memang harus ditransmisikan kembali di zaman ini. 

Fakta nyata ketika kita tidak mau menyentuh kembali ide besar keilmuan mereka, justri umat akan terus tertinggal jauh dan mengalami memunduran di setiap dimensi kehidupan.

Al-Ghazali pernah menulis Ihya Ulumudin, Menghidupkan Kembali Ilmu Agama di saat umat telah terjebak pada gelimang kemegahan dan menuju lembah nadir kemerosotan moralitas. 

Sebaliknya, di zaman ini, kita telah benar-benar berada di titik nadir lembah pengetahuan. Hanya dengan Meng-Ihyakan (menghidupkan) Ilmu lah, kita akan kembali merangkak naik pada piramida tertinggi pengetahuan.


Opini Kang Warsa

Informasi Lainnya

Posting Komentar

Berlangganan